Terjemahkan

Jumat, 09 Februari 2018

Malu Hati Salah Menilai



Tik.. tik..
Hujan terus turun dengan derasnya.
Ku menatap dari balik jendela. Tampak sesosok bayangan hitam berjalan mendekat ke rumah. Seketika timbul rasa takut dalam diriku. Aku segera menutup jendela rapat-rapat dan akupun langsung mengumpat di balik selimut. Tanpa tersadar, aku terlelap dalam tidur. Akupun terbangun ketika ibuku berteriak memanggilku.
“Kezia…,” teriak ibuku.
“Iya ma..,” jawabku.
Aku segera turun dan terkaget ternyata sosok yang kulihat dari jendela ada di hadapanku. Aku pun takut karena sosok yang begitu seram. Kulitnya hitam, berkumis dan berjenggot tebal. Aku pun segera berlari ke dapur di mana ibuku berada.
“Ma..,” kataku sambil terengah-engah.
“Ada apa sih, kamu kok ngos-ngosan gitu,” tanya ibuku balik.
“Itu yang di depan siapa sih? Serem amat kayak setan,”
“Hus, ngaco kamu, itu om Cahyo,”
“Om Cahyo siapa ma?”
“Om Cahyo tuh temen kantor papa, tadi dia ngantar barang papa yang kemarin tertinggal di kantor. Karena hujan jadi dia numpang berteduh dulu,”
“Oohh.. oia ma, papa kemana?”
“Papa lagi pergi beli makanan keluar bentar buat om Cahyo,”
“Ya udah, mama mau antar minum dulu buat om Cahyo,”
Aku membuntuti di belakang ibuku karena masih merasa takut.
“Kamu ngapain sih di belakang mama. Udah, ayo kenalan sama om Cahyo,” kata ibuku.
“Hei anak manis. Namanya siapa nih? Kok ngumpet aja nih di belakang mama,” kata om Cahyo.
“Biasa nih. Takut katanya,”
“Ga usah takut sama om. Om ga gigit kok,”
Dengan perasaan yang masih takut, aku memberanikan diri mengulurkan tanganku berkenalan dengan om Cahyo.
“Namaku Kezia, om,” kataku.
“Cantik namanya seperti orangnya. Kelas berapa, Kezia?” kata om Cahyo.
“Aku baru kelas empat, om,”
“Ohh,”
Selagi berbicara. Tak berapa lama ayahku pulang dari membeli makanan. Tapi karena hujan sudah reda, om Cahyo pun langsung pamit pulang begitu ayahku pulang.
“Pak Priono, saya pamit pulang ya,” kata om Cahyo.
“Kok buru-buru. Ini baru saya beliin makanan. Makan dulu saja,” kata ayahku.
“Gak usah gapapa, buat Kezia saja makanannya,”
“Ini banyak loh. Atau kalau enggak bawa pulang aja buat di rumah,”
Ayahku langsung meminta ibuku mencari kantong plastik. Kemudian, ayahku memisahkan makanan buat om Cahyo ke kantong plastik yang berbeda. Ayahku lalu memberikan kepada om Cahyo.
“Cahyo, nih bawa pulang buat makan di rumah,” kata ayahku.
“Aduh pake repot-repot,” kata om Cahyo.
Om Cahyo memasukkan bungkusan makanan ke dalam tas. Kemudian, om Cahyo tampak mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
“Ini, ada sedikit buat Kezia,” kata om Cahyo.
“Apa ini? Repot-repot segala,” kata ayahku.
“Sedikit. Uang jajan buat Kezia,”
“Tuh, Kezia, terima dari om Cahyo,”
“Makasih om,” kataku sambil mengambil yang diberikan om Cahyo.
“Ya, sama-sama Kezia,” kata om Cahyo.


Sejak saat itu aku merasa malu hati telah salah menilai om Cahyo. Ternyata, om Cahyo orangnya sangat baik hati. Bahkan, selalu mengajakku atau keluargaku jalan-jalan bersama.

Yohanes Dewandaru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar