Bab 3
Cinta Lama Bersemi Kembali
Esok pagi. Seperti minggu biasanya, ibuku sudah sibuk membangunkan anak-anaknya untuk pergi ke gereja.
“Deva, Meta, Indra… ayo bangun.. kita mau ke gereja pagi,” kata ibuku.
“Iya mi..,” teriak kami berbarengan.
***
Pulang gereja, biasanya kami makan bersama di luar. Kali ini, kami makan di Mall Lotte Avenue. Kami pun segera saja meluncur ke sana. Tak berapa lama, kami pun sampai karena memang jarak gereja kami dengan mall yang tidak terlalu jauh. Di Mall, kami segera menuju ke restoran yang kami tuju. Saat di eskalator, lagi-lagi saya melihat pemandangan tak menyenangkan. Kulihat dari jauh, Clara dan Aldo berjalan bergandengan. Aku pun segera melengos melihat ke arah lain. Kemudian, akhirnya kami tiba di restaurant yang kami tuju. Kami segera memesan makanan. Ketika kami sedang makan, tiba-tiba Melvi dan keluarganya datang langsung menghampiriku.
“Hai, Va,” kata Melvi.
“Eh, Melvi, pa kabar?” tanya ibuku menyela.
“Baik, tante,”
“Sama siapa ke sini? Nih sama mama dan papa,”
“Hai jeng Imel,” kata ibuku ke mamanya Melvi.
“Hai. Udah lama ya kita ga bertemu,” kata mamanya Melvi, tante Imelda.
“Iya nih. Ayo duduk sini, masih muat kok. Va, cb ambil kursi itu dua lagi jadiin satu,” kata ibuku.
“Iya mi,” sahutku.
Deva pun segera mengambil dua kursi dan merapatkan ke meja kami. Kami pun makan bersama.
***
Setelah makan, kami keluar dari Restoran terus menuju parkiran basement untuk menuju mobil. Kami pun berpisah dengan keluarga Melvi. Dalam perjalanan pulang.
“Va, kok kamu ga cerita klo Melvi udah balik,” kata ayahku.
“Hmm, Deva juga baru tahu kemarin kok, pi,” kataku.
“Oia, Va, kamu kenapa ga jadian lagi aja sama Melvi. Melvi kan anaknya cantik, baik, pinter lagi,” kata ayahku.
“Apaan sih, pi,” kataku.
“Iya, mas Deva bener kata papi kenapa ga jadian lagi. Mas cocok loh sama Kak Melvi,” kata Indra menyela.
“Ini lagi satu ikut-ikutan,” kataku. “Udah ah, bahas yang lain aja napa,” lanjutku.
Selang beberapa waktu, kami tiba di rumah. Aku pun memarkirkan mobil di halaman depan rumah.
***
Turun dari mobil, aku langsung ke kamar. Di kamar, aku merebahkan badan di atas kasur. Aku terus kepikiran dalam hati perkataan ayahku dalam perjalanan pulang tadi mengenai jadian sama Melvi. Pergulatan batin terus terjadi antara jadian lagi atau tidak. Kalau jadian, hatiku tenang. Kalau tidak pasti aku akan merasa tertekan bila melihat Clara jalan dengan cowok lain. Aku pun terus merenungkan itu. Hingga tak tersadar, aku terlelap dalam tidur.
***
Malam hari. Tiba-tiba ketukan pintu mengagetkanku hingga ku terbangun.
“Deva.., ayo bangun!” terdengar teriakan ibuku dari luar kamar.
“Iya.. mi,” kataku.
Aku pun beranjak dari tempat tidurku dan segera mandi. Selesai mandi, aku segera turun. Begitu sampai bawah, ternyata sudah ada Melvi. Aku langsung terkejut.
“Loh, kok kamu ada di sini,” kataku kepada Melvi sambil menuju sofa di ruang tamu
“Kebetulan lewat trus mampir,” kata Melvi.
“Ohh, udah lama?”
“Ya, ada kali 15 menitan. Tadi sih udah sempet ngobrol-ngobrol sama mami dan papimu,”
“Oh, ngomongin apa aja?”
“Gak ngomong apa-apa,”
“Hmm, masa sih? Papi sama mamiku biasanya suka bocor, hahaha”
“Ga kok. Mereka ga ngomongin tentang kamu. Va, keluar yuk,”
“Hmm, boleh, aku ganti baju dulu ya,”
Aku pun kembali naik untuk berganti pakaian dan turun kembali.
“Mi, Pi, Deva pergi dulu ya sama Melvi,” kataku.
“Cie, mau ngedate ya,” canda adikku Meta yang memang suka iseng sama kayak Indra.
“Apa sih, orang pacaran juga nggak,” kataku.
“Ya sudah sana kalau mau jalan. Inget, jangan sampe malem, nanti Melvi dicariin,” kata ayahku.
“Siap bos,” kataku.
Kemudian, kami pun pergi keluar.
***
Dalam perjalanan.
“Mau kemana nih, kita?” tanyaku.
“Hmm, enaknya kemana ya?” tanya Melvi balik.
“Kamu mau makan, nonton, atau apa?”
“Hmm makan aja kali ya, laper aku,”
“Ya ud boleh mau makan apa?”
“Apa ya? Makan di Bristol Cafe aja deh,”
“Boleh,”
Kami pun melesat menuju ke Bristol Cafe. Tiba di Bristol Cafe, kami langsung masuk ke dalam. Segera saja, kami memesan makanan. Sembari menunggu pesanan datang, kami mengobrol mengingat masa lalu.
“Oia, Mel, kamu beneran belum punya pacar lagi?” tanyaku mengawali pembicaraan.
“Kenapa gitu, Va?” tanya Melvi balik.
“Hmm, kayaknya aku masih sayang sama kamu,”
Aku coba memberanikan diri mengatakan itu, walau hati kecilku masih bergulat panjang.
“Bercanda ah kamu. Ga mungkin, cowok setampan kamu gak ada yang suka,”
“Beneran kok,”
“Hmm, sebenarnya aku juga masih sayang kamu. Makanya, aku belum mau pacaran lagi sama cowok lain,”
“Ya udah, gimana kalau kita jadian lagi?”
“Yakin nih, ga ada yang cemburu kalau kita jadian,”
“Beneran, gak ada. Aku tuh ga punya cewek sama sekali,”
“Ya sudah. Ok kita jadian,”
Malam itu jadi saksi jadian Melvi dan Deva kembali. Kami pun segera menghabiskan makanan. Kemudian, kami pulang. Aku antar Melvi dulu ke rumahnya. Sampai di rumah Melvi.
“Mel, terima kasih ya malem ini,” kataku.
“Justru aku yang harusnya berterima kasih sama kamu. Karena kamu udah mau jadi pacarku lagi. Aku pikir kamu marah dan ga mau sama aku lagi karena aku tinggal bertahun-tahun,” kata Melvi.
“Aku juga terima kasih kamu telah mau mengisi hatiku kembali yang kosong bertahun-tahun,”
Aku pun mencium keningnya Melvi. Lalu, Melvi pun masuk ke dalam rumah. Aku kembali menuju mobil dan meluncur pulang ke rumah. Dalam perjalanan, hatiku rasanya berbunga-bunga. Tapi di satu sisi, aku masih mengharapkan Clara. “Bodo amat, ah, yang jelas sekarang aku sudah punya pacar untuk melupakan sejenak soal Clara,” pikirku dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar