Terjemahkan

Rabu, 17 Oktober 2018

Kado Natal Istimewa (Part 4)

Bab 4
Tugas Ke Luar Kota

2 bulan sudah aku menjalani hubungan dengan Melvi. Suatu hari di tempat kerja, tiba-tiba saja aku dipanggil bosku namanya Pak Charles.
“Selamat siang pak. Bapak memanggil saya?” kataku.
“Iya betul. Duduk dulu di situ,” kata pak Charles.
“Ada apa ya pak?”
“Tunggu sebentar, ya. Saya masih ada telepon bentar,”
“Baik pak,”
Pak Charles pun menyelesaikan teleponnya. Kemudian, pak Charles menghampiri saya.
“Ok, begini. Kantor cabang yang di Bali sedang membutuhkan Kepala Pimpinan Cabang yang baru. Saya melihat kamu yang layak menempati posisi itu dan saya sangat yakin kamu pasti bisa memanage kantor cabang dengan baik,”
“Yang bener pak? Kan masih banyak karyawan yang lebih senior dari saya,”
“Yang senior memang banyak, tapi yang memenuhi kualifikasi tidak ada. Hanya kamu lah yang pas dan memenuhi kualifikasi,”
“Ya, kalau memang perusahaan mempercayai saya, ya apa boleh buat,”
“Ok, saya kasih kamu waktu 2 minggu untuk mempersiapkan semuanya. Mengenai tiket keberangkatan dan akomodasi selama di sana, perusahaan yang akan menyiapkannya. Kamu tinggal berangkat saja. Semua sudah tersedia,”
“Baik pak,”
“Ya sudah, kamu sekarang boleh keluar,”
Aku keluar dari ruangan bos dengan wajah penuh kebingungan. Aku bingung antara kerjaan dan pasangan. Aku baru saja jadian 2 bulan sudah harus meninggalkan Melvi jauh ke luar kota. Pikiran yang kacau membuatku agak sedikit berantakan dalam pekerjaan hari itu.

***


Sore hari. Saat pulang kantor, Andi menghampiriku.
“Va, kok kelihatannya lw hari ini gak konsen kerja setelah keluar dari ruang bos,” kata Andi.
“Aku lagi bingung,” kataku.
“Bingung kenapa? Cerita aja sama gw,”
“Gini, tadi tuh bos manggil gw. Dia bilang gw akan dipindah jadi kepala pimpinan cabang di Bali,”
“Bukannya prospek bagus? Kenapa jadi bingung?”
“Iya sih bagus buat jenjang karir gw,”
“Terus?”
“Jadi gini, gw kan br aja jadian lagi ama Melvi setelah berapa tahun putus karena jarak. Sekarang, baru dua bulan gw udah harus jauh lagi dari Melvi,”
“Kok lw ga cerita udah jadian sama Melvi?”
“Hehehe, sengaja sih gw rahasiain dari siapa-siapa,”
“Balik lagi ke permasalahan tadi. Ya saran gw cb lw omong baik-baik sama Melvi. Kalau sekarang kan kalian sudah sama-sama dewasa pasti bisa lebih bijak dalam memutuskan sesuatu,”
“Hmm. Tapi?”
“Coba dulu,”
“Ya sudah nanti gw coba,”
“Ya sudah kita balik yuk,”
Aku pun menuju ke mobilku dan Andi pun menuju ke mobilnya. Aku segera meluncur pulang ke rumah.

***

Sampai di rumah, karena capek sekali, aku langsung masuk kamar dan istirahat. Jam 20.00, ibuku memanggilku untuk makan malam. Aku pun keluar dan turun ke lantai bawah menuju ruang makan.
“Va, kamu kayaknya hari ini lelah sekali,” tanya ibuku.
“Iya, mi. Tadi di kantor banyak kerjaan,” jawabku.
“Oia, Va. Papi tadi dapet info dari pak Yudi temen papi di kantormu, katanya kamu diangkat jadi kepala pimpinan cabang di Bali ya?” kata ayahku.
“Iya, pi. Tapi aku bingung terima apa gak,” kataku.
“Kenapa bingung? Terima ajalah buat prospek ke depanmu nanti,”
“Hmm nganu pi, aku kan baru saja jadian lagi sama Melvi 2 bulan masa sudah LDR lagi,”
“Oh, kamu akhirnya jadian lagi toh,”
“Iya, pi,”
“Oh kalo gitu, supaya ga khawatir, apa kamu mau tunangan dulu sama Melvi biar ada ikatan dulu,”
“Gak ah pi. Waktunya mepet ga mungkin cuma 2 minggu, aku dikasih waktu untuk siap-siap,”
“Terus?”
“Aku akan coba omong dulu,”
“Oh ya sudah, kalo itu sudah menjadi keputusanmu,”
Kami sekeluarga pun makan malam bersama. Usai makan malam, aku kembali menuju kamarku.

***

Sementara itu di lantai bawah.
“Mi, tadi udah denger kan pembicaraan papi sama Deva,” tanya ayahku.
“Iya, pi,” jawab ibuku.
“Menurut mami gimana?”
“Mami sih terserah Deva yang ngejalanin,”
“Hmm, kalo Deva dan Melvi tunangan dulu, mami setuju ga?”
“Terserah papi aja. Tapi papi pastikan dulu ke pak Charles kalau boleh mundur waktu keberangkatannya,”
“Iya nanti papi telpon,”
Ayahku langsung segera menelepon Pak Charles, bosku.
“Halo, selamat malam, pak Charles,” kata ayahku.
“Halo, selamat malam juga. Eh, pak Richard. Tumben telepon malem-malem. Ada apa nih?” kata pak Charles.
“Begini, saya mau minta perpanjangan waktu untuk keberangkatan anak saya Deva ke Bali. Apakah bisa?”
“Sebenarnya terserah Deva saja sih kalau saya kapan pun siapnya silakan saja,”
“Ok, gak lama kok paling 1 bulan aja perpanjangannya,”
“Silakan aja,”
“Ok, pak Charles. Terima kasih. Salam buat anak dan istri. Selamat malam,”
“Sama-sama, pak. Selamat malam juga. Salam juga buat bu Vina, Indra, Meta, dan Deva,”
Ayahku pun segera menutup telepon. Ya, semua pasti menurut saja sama ayahku karena bagaimanapun ayahku juga merupakan salah satu komisaris di perusahaan tempatku bekerja.

***

Pagi hari. Ketika aku akan berangkat ke kantor, tiba-tiba Ayahku memanggilku.
“Va..,” panggil ayahku.
“Iya, pi,” kataku.
“Papi semalem telpon pak Charles. Kamu bisa tunda keberangkatanmu kok hingga 1 bulan ke depan. Jadi, kamu bisa tunangan dengan Melvi dulu,”
“What?”
Aku sontak kaget karena Melvi sebenarnya hanya pelarianku tidak lebih. Aku masih berharap mendapatkan Clara. Tapi kok begini jadinya.
“Gimana, Va?” tanya ayahku mengagetkanku.
“Hemm, nanti Deva pikir-pikir dulu deh pi,” kataku.
“Ya sudah, tapi buruan ya keputusannya,”
“Iya pi,”
Setelah berkata itu, aku langsung aja kabur pergi ke kantor.

***

Di kantor. Tidak seperti biasanya, pak Charles sudah berdiri depan ruang kerjaku.
“Eh, pak Charles. Tumben pak, udah berdiri depan ruang kerja saya,” kataku.
“Gini, Va. Saya cuma mau kasih tahu aja bahwa keberangkatanmu diundur sampe 1 bulan ke depan,” jelas pak Charles panjang lebar.
“Oh ya?”
“Iya, Va. Jadi kamu ga usah tergesa-gesa persiapannya. Santai aja,”
“Baik, pak,”
Dalam hati aku berpikir, ini pasti kerjaannya papi.
“Ya sudah. Itu saja yang mau saya sampaikan. Selamat bekerja,” kata pak Charles sambil berjalan menuju ruangannya.
Aku pun segera masuk ke dalam ruangan. Tidak berapa lama, Andi masuk ke dalam ruangan.
“Va, gimana? Udah jadi ngehubungi Melvi?” kata Andi.
“Belum, Ndi. Paling nanti siang. Lagipula, keberangkatan gw mundur sebulan,” kataku.
“Oh ya?”
“Iya. Ini karena ide gila bokap gw pengen gw tunangan dulu sama Melvi,”
“Wah, bagus banget tuh ide bokap lw,”
“Ah, lw bukannya belain temen malah dukung ide gila bokap gw,”
“Lah, memang kenapa? Lagipula lw ama Melvi kan ud pacaran lama dan saling kenal meski pernah putus,”
“Gw tuh sebenarnya ga terlalu cinta ama dia hanya pelarian aja, gw masih berharap dapetin cewek yang pernah gw tabrak waktu itu,”
“Ah, cewek itu. Lah terus ngapa lw jadian lagi ama Melvi?”
“Karena gw tahu cewek itu ternyata ud punya tunangan. Tapi meski gitu, gw masih berharap siapa tahu dia berubah pikiran,”
“Mang lw ud kenal sama dia?”
“Udah, dia tuh guru di tempat adek gw,”
“Oalah. Ya gw sih terserah lw lah,”
Andi pun keluar dari ruanganku.

***

Siang hari. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Kulihat ternyata ada pesan masuk.
“Siang, sayang. Udah makan belum?” demikian bunyi pesan dari Melvi.
“Belum. Nanti aja, ini masih ada kerjaan,” balasku.
“Ohh, ok jangan lupa makan ya,”
“Iya, sayang. Oia, nanti malam ada acara ga?”
“Gak sayang. Kamu mau ajak aku makan malam?”
“Iya. Aku mau ajak kamu makan di Jalan Sabang,”
“Boleh. Kebetulan aku ga ada acara,”
“Ya sudah, langsung ketemu di sana aja ya. Kalau aku jemput kamu jadinya muter-muter,”
“Ok. Jam 8 ya di sana,”
“Iya sip,”

***

Jam 7 malam, aku baru pulang dari kantor. Ya, hari ini, aku lebih memilih lembur biar bisa langsung dari kantor ke tempat janjian. Aku pun segera bergegas menuju parkiran mobil. Mobil pun mulai kulajukan menuju Jalan Sabang. Sesampai di Jalan Sabang, ternyata aku duluan yang sampai. Sementara Melvi belum sampai. Aku pun menunggu di suatu tempat makan. Sambil menunggu, aku buka-buka medsos. Tidak sengaja aku menemukan medsos Clara. Lalu aku baca di medsos, ada tulisan bahwa dia pindah kerja di Denpasar. Setelah membaca itu, aku merasa ada kesempatan untuk beralih ke dia. Selagi membaca medsos itu, dari belakang Melvi mengagetkanku. Sontak, langsung kututup ponselku takutnya Melvi ikut baca.
“Kok ditutup sayang? Lagi baca apa sih?” tanya Melvi agak sedikit curiga.
“Gak kok, cuma baca berita aja,” jawabku bohong ke Melvi.
“Tapi, kok kamu kayak ketakutan gitu,”
“Beneran kok cuma baca berita,”
“Oh, ok. Ya sudah, btw kamu ada apa undang aku, sayang, makan malam hari ini?”
“Ada satu hal yang harus aku omongi,”
“Apa tuh? Ngomong aja,”
“Aku ditugaskan ke luar kota, jadi kemungkinan kita harus LDRan,”
“Ha, LDR lagi, aku ga bisa,”
Dalam hati, aku berpikir, ‘Wah, kesempatan bagus nih, pasti dia akan minta putus.’ Namun, ternyata di luar dugaanku.
“Aku ga bisa jauh darimu. Aku akan ikut ke manapun kamu dipindahkan,” lanjut Melvi.
‘Mampus gw, bisa gagal rencana gw, kalau jadi gini,’ pikirku dalam hati.
“Kamu yakin? Terus pekerjaanmu di sini gimana?” tanyaku.
“Aku akan coba minta pindah tugas kalau ga bisa ya aku resign,” jawab Melvi.
“Janganlah. Lebih baik kamu di sini, nanti mama sama papamu siapa yang urus? Sedang kakak-kakakmu sudah gak satu rumah pada di luar kota,”
“Iya juga sih,”
Melvi diam sejenak. Aku pun tetap berdoa semoga Melvi berubah pikiran. Jahat sekali sepertinya diriku ini. Tapi masa bodo.
“Hmm, ya udah aku akan tetap di sini. Tapi kamu harus janji tidak selingkuh di sana,” kata Melvi.
“Janji,” jawabku agak berbohong.
“Ok, ya sudah sekarang kita makan yuk. Aku laper,”
“Ya udah pesenin aku nasi goreng,”
“Ok, siap,”
Hatiku merasa lega. Selain Melvi siap ditinggal, dia pun tidak jadi ikut.

***

Tiga minggu kemudian, tibalah waktu keberangkatanku. Pagi harinya di rumahku.
“Va, baju-bajumu udah siap semua?” tanya ibuku.
“Udah mi,” jawabku.
“Eh, iya Va, nanti Melvi ikut ke bandarakah?”
“Ikut, tapi katanya langsung dari rumahnya,”
“Oh, ok deh,”
Selesai berkemas, kami sekeluarga menuju Bandara Soekarno Hatta. Inilah keluargaku, yang pergi seorang tapi yang mengantar serombongan.

***

Di Bandara.
“Mi, sudah jam berapa?” tanyaku kepada ibuku.
“Sudah jam 10.00,” kata ibuku.
“Aduh bentar lagi dong. Melvi mana sih lama amat. Tak tinggal aja deh,”
“Jangan Va. Kalian kan akan terpisah jauh. Jangan main tinggal gitu aja,” kata ayahku sedikit menenangkanku.
“Iya betul tuh mas Deva,” kata Indra, adikku yang suka ikut-ikutan.
“Tapi kan,” kataku.
“Udah tunggu bentar. Paling bentar lagi sampe,” kata ayahku.
15 menit sudah kutunggu, tetapi Melvi tidak kunjung datang.
“Udah ya pi, udah 15 menit aku tunggu tapi gak dateng-dateng juga,” kataku.
“Udah tunggu aja,” kata ayahku.
“Udah gak bisa, pi. Pesawatku kan jam 11.15 ud take off,”
“Ya udah terserah kamu deh,”
Aku segera mengangkat koper dan berjalan menuju ke dalam terminal keberangkatan. Sewaktu aku berjalan ke dalam. Tiba-tiba dari belakang ada suara yang memanggilku.
“Va,” teriak suara itu.
Seketika aku berhenti melangkah dan menoleh ke belakang. Ternyata Melvi yang memanggil.
“Va, sori ya aku telat,” kata Melvi.
“Kamu kebiasaan kayak gitu,” kataku.
“Kok kamu ketus sih. Ah, ya sudahlah. Hati-hati di jalan ya, Va. Jaga diri baik-baik di Bali. Jangan nakal,”
“Iyaaa..,”
Meski dalam hati, aku tetap bilang bodo amat. Selepas itu, aku kembali berjalan untuk menuju ke pesawat. Tepat jam 11.15, pesawatku lepas landas menuju ke Bali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar